Eks pekerja PT Lima Sekawan, Septia Dwi Pertiwi, yang dikriminalisasi oleh atasannya, Jhon LBF, atas tuduhan pencemaran nama baik, telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (22/01/2025).
Majelis hakim menyatakan bahwa Septia secara sah tidak melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE, berdasarkan bukti-bukti yang ia pertanggungjawabkan selama persidangan. Dalam pernyataannya, Septia menegaskan bahwa upaya kriminalisasi dan pembungkaman buruh oleh perusahaan hanyalah langkah sia-sia.
Kuasa hukum Septia, Gina Sabrina, menyebut putusan ini sebagai preseden penting bagi para buruh yang mencari keadilan dan bagi para hakim dalam menyelesaikan kasus serupa.
Solidaritas massa aksi juga mengapresiasi kebebasan Septia sebagai kemenangan bagi kelas pekerja. Mereka menyerukan agar para buruh lebih berani menyuarakan ketidakadilan di tempat kerja.
Seperti apa liputan selengkapnya? Simak di youtube progreSIP!
Kasus kriminalisasi buruh perempuan, Septia Dwi Pertiwi, terkait pencemaran nama baik mantan bosnya, Jhon LBF, memasuki babak baru. Pada Rabu, 18 Desember 2024, Septia menyampaikan pembelaan atau pleidoi atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Dalam pleidoi, Septia menegaskan bahwa curhatannya di media sosial terkait pelanggaran ketenagakerjaan yang dialaminya, bukanlah suatu tindak pidana. Sebab, dia benar mengalami sendiri pelanggaran ketenagakerjaan mulai dari upah di bawah UMP hingga PHK sewenang-wenang.
Septia tengah menghadapi tuntutan hukuman satu tahun penjara. Namun, Septia yakin bukti-bukti di pengadilan semakin memperkuat pembelaannya. Septia juga didukung kuat oleh serikat buruh dan masyarakat sipil, baik langsung maupun melalui media sosial, yang memperkuat keyakinannya bahwa perjuangannya tidak salah.
Seperti apa cerita selengkapnya? Simak liputan berikut ini! Follow biar makin SIP:
Massa Women’s March Jakarta (WMJ) melakukan aksi bertajuk “Akhiri Diskriminasi, Lawan Patriarki”, yang diawali long march dari Bawaslu RI menuju Silang Monas Jakarta, Sabtu (07 November 2024).
Di tengah guyuran hujan deras, massa aksi menyuarakan keresahan atas maraknya berbagai praktik diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun kelompok rentan. Menurut koordinator WMJ Ally Anzi banyaknya kasus pelecehan maupun kekerasan seksual, hingga berujung femisida disebabkan oleh mengakarnya sistem patriarki.
Meidina dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menuturkan corak persoalan ini terwujud melalui massifnya kebijakan di tingkat nasional maupun peraturan daerah (perda) yang sangat diskriminatif.
#AkhiriDiskriminasiLawanPatriarki
Seperti apa cerita selengkapnya? Simak liputan berikut ini di progreSIP!
Dilempari botol hingga ditimpuk di jalan kerap dihadapi Komunitas Transgender di Indonesia saat bekerja sebagai pengamen atau pekerjaan informal lainnya. Mereka terpaksa menjadi pekerja informal karena terbatasnya akses pekerjaan yang layak. Muara dari masalah itu adalah diskriminasi saat mengakses hak dasar warga negara yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Simak cerita kesaksian peliknya akses KTP bagi komunitas Transgender yang berdampak sistemik dalam liputan progreSIP.
#KerjaInklusifGender
Potret kerentanan masih banyak dialami oleh para pekerja ragam gender, khususnya di ruang lingkup seni. Berbagai macam stigma yang melekat terhadap mereka nyatanya berpotensi menjadi penghambat akan terciptanya ruang bebas dan aman dalam berkesenian. Simak tayangan selengkapnya!
#KerjaInklusifGender